Bersamamu Kuraih Surga

Sedari pagi mendung menyelimuti kota udang. Udara yang biasanya panas membakar berubah menjadi teduh. Tiga hari berturut-turut, mendung disertai hujan rintik-rintik, pertanda musim penghujan akan segera tiba. Lumayan nyaman udaranya, terutama bagi pengendara motor seperti Hanum.  Seperti hari biasanya, bersiap-siap mengendarai motor matik kesayangan,  rutinitas berangkat pagi untuk menghindari kemacetan. Segelas teh manis hangat dan sepotong roti bakar cukup untuk mengganjal perutnya. Postur tubuh tinggi semampai, wajah bulat dan kulit hitam manis, mengenakan gamis polkadot hijau lumut,  kerudung putih membuat Hanum semakin terlihat anggun. Aura kesedrhanaan dan kecerdasan terpancar dari sorot mata lembut tapi percaya diri. Jaket kulit dan ransel imut melengkapi penampilannya hari ini. Seorang diri berangkat membelah pagi, mengendarai motor sejauh delapan puluh kilometer, ditempuh kurang lebih satu jam saja. 

Keadaan jalanan yang masih sepi membuat Hanum leluasa memacu kendaraannya. Hanum lebih memilih pulang pergi meskipun penuh resiko, tidak mengapa, tapi untuk indekost rasanya masih terlalu berat,rezekinya memang berada di kota angin ini. Saat ini Hanum tinggal bersama ibunya. Yang membesarkannya seorang diri. Ayahnya berpulang kepangkuan Illahi saat usianya baru empat tahun. Anak terakhir dari delapan bersaudara tidak menjadikannya gadis manja. Semua kakaknya sudah berkeluarga dan tinggal diluar kota, tinggal mereka berdua. Ibunya yang sedrhana dan perkasa membesarkan delapn putra putrinya seorang diri, menjadikannya tak boleh jauh dari ibunya.

Rem motor agaknya harus diservis, berderit berisik. memasuki  halaman kantor bernuansa kuning hitam. Seperti biasa, sudah ada dua orang yang sudah mulai beraktivitas membersihkan lingkungan kantor. Memakirkan sepeda motornya dan bergegas memasuki ruangan di sebelah kiri pintu masuk. Terburu-buru pulang, membuat Hanum terlupa mengerjakan tugas yang diberikan oleh pimpinannya kemarin. Laporan keuangan menjadi sarapan pagi ini, lumayan rumit dan membuat matanya harus bekerja ekstra. Kurang lebih tiga puluh menit sudah berhasil diselesaikan. Diminumnya segelas teh hangat yang  disediakan  oleh Mang Ujang sekaligus merehatkan pikiran, matanya tertuju pada layar ponsel,  sengaja tidak menggunakan nada dering hanya getar saja. Tiga kali panggilan tak terjawab, sudah bisa di tebak pemiliki panggilan tak terjawab tadi. Dahi Hanum berkerut dan mukanya  cemberut. Hartono, laki-laki tinggi dan kurus, teman dekatnya,selama tiga tahun belakangan. Berkenalan semasa  bekerja di negeri tetangga. Hartono yang posesif dan pencemburu, menjadikan Hanum tidak lagi kuat berada di sampingnya. Entah berapa kali sehari menelepon hanya untuk menanyakan kabar dan mengawasi geraknya. Akhir-akhir ini Hanum merasakan puncak kekesalannya, dengan berbagai alasan akhirnya berhasil mengajukan permohonan pengunduran diri dari tempatnya bekerja di negeri tetangga. 

Bermaksud untuk mengakhiri hubungannya dengan Hartono, meskipun harus mengorbankan jabatan yang sudah lumayan digengamnya. Hanya itu satu-satunya cara untuk menghindar dari Hartono, pergi jauh darinya, karena berkali-kali ucapan putus tak mau beliau terima. Bahkan beliau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan yang membahayakan jiwa. Susah payah untuk memutuskan hubungan dari laki-laki satu ini, dari pindah kerja sampai mengganti nomor telepon. Tapi mengapa masih saja bisa Hartono tahu nomor teleponnya. Antara bingung dan geram bercampur sedikit ketakutan. Bayangan dan pikiran negatif mulai bermunculan, tidak sedikit cerita yang berawal dari percintaan berujung permusuhan bahkan pembunuhan. Hanum menulis pesan singkat, untuk terakhir kalinya permohonan maaf dan permintaan agar beliau bisa melupakan dan mencari penggantinya. Pesan seperti itu sudah bosan diucapkan dan berkali-kali juga dikirimkan bahkan sampai mengganti tiga kali nomor ponselnya. Hanum bertekad untuk menutup semua hubungan dengan semua kawan-kawan yang berada di tempat kerjanya dahulu. Hartono mengetahui nomor teleponya dari salah satu kawan kerjanya. Ini kartu yang keempat kalinya bagi Hanum, terbayang sudah omelan dari atasan dan teman-teman kantornya. Gonta-ganti nomor telepon seperti takut dikejar-kejar hutang  saja, celetuk mereka. Senyumnya kecut, tapi tak mengapa, asalkan laki-laki pemarah itu tak lagi menghubunginya. 

Usahanya berhasil,Alhamdulillah sudah seminggu kejadian  terror telepon berlalu. Dan kali ini Hartono tidak berhasil melacak teleponnya.  Kelegaan nampak di raut wajahnya, kembali fokus dengan pekerjaan sehari-hari. Berangkat pagi dan selesai pekerjaan sore hari membuat waktu terasa cepat berlalu. Tidak terasa satu tahun sudah Hanum bekerja di kota Angin. Karena kesibukan bekerja, membuatnya lupa waktu, beberapa ibu-ibu di kantor mulai mengusiknya. kapan menikah?, pertanyaan klasik dari seorang ibu juga sama, melihat anak gadisnya yang sudah cukup umur, dan masih lajang. Hampir setiap hari ada saja yang bertanya, membuatnya sedikit pusing kepala. Bermaksud baik dan mengingatkan, tapi kalau terus-menerus ditanyakan membuatnya kerepotan. Hanum sendiri merasakan waktu cepat sekali berlalu, target menikah di usia dua puluh lima tahun sudah terlewati jauh. Dua puluh sembilan tahun sudah usianya, tapi mengapa jodoh belum menghampiri. Semoga bukan karena Hanum menolak berjodoh dengan Hartono. Sosok laki-laki pemarah itu melintas dipikirannya. Lebih baik hidup sendiri seperti ini daripada menikah dengan laki-laki sepertinya batinnya berguman
Bersambung..

Comments

Popular posts from this blog

Wisata Belanja Batik Trusmi Cirebon

Mengenal Anggur Pohon,

Mau Seragam Batik Murah, Sentra Batik Asofa Cirebon Tempatnya.