Bersamamu Kuraih Surga (3)
Lelaki yang ditunjuk abang bakso terlihat
asik dengan layar ponselnya, Hanum beranjak menghampiri
“Maaf, ini uangnya saya
kembalikan” diulurkan selembar uang dua puluh ribuan.
“Saya traktir Mba manis boleh kan”
jawab lelaki itu singkat
Hanum tak ingin memperpanjang cerita, merasa lelaki
itu tidak mengindahkan perkataannya, reflek diletakkannya lembaran uang diatas
meja pemuda tadi sambil berlalu pergi. Sedikit terperangah, laki-laki tadi berusaha
mengejar Hanum. Hanum sudah langsug memacu kendaraan sekuat mungkin.
Menghindari bahkan kalau perlu tidak usah berjumpa lagi. Memasuki halaman
kantor membuat perasaannya lega, tergesa memasuki ruangan dan menutup pintu.
Beberapa teman kantor masih berhadapan dengan tim auditor, serius dan nampak
sibuk dengan beberapa berkas di meja masing-masing. Untuk laporan keuangan
sendiri belum ada revisi kembali. Kembali dibuka hafalan Alquran, memurajaah, mengulang
hafalan dan belajar memahami artinya disetiap waktu luang yang tersedia.
Hanum
benar-benar ingin memantaskan diri dihadapan sang pencipta. Beliau berhijrah
dengan sebenarnya, bertaubat atas semua kesia-siaan dan dosa yang sudah banyak
diperbuat. Sekelebat bayangan laki-laki di tempat baso menghampiri, mencoba
mengingat sosok yang coba untuk diingatnya. Hartono, kembali muncul nama satu
orang itu, raut muka yang hampir sama. Ketakutan dan trauma kembali muncul di
raut muka Hanum. Semoga segala marabahaya dan keburukan dijauhkan dari diri dan
seluruh keluarga besarnya. Hanum sangat berhati-hati untuk menerima pertemanan
dengan lelaki, cukup sudah pengalaman bersama Hartono, tak boleh terulang lagi
janjinya pada diri sendiri. Dibukanya jadwal harian hari ini, tidak ada kajian,
berarti acaranya adalah pulang.
Hanum merupakan tipe wanita yang
tidak ingin duduk diam, sedikit waktu luang digunakan untuk mencoba menekuni satu
lagi hobinya. Menjahit, membuatnya mampu melupakan semua keresahan dan kegundahan
jiwanya. Bersama mesin jahit hitam milik ibunya, waktu terasa begitu nikmat.
Ketekunan dan ketelatenan, dari memilih bahan, membuat pola sampai menjahit
bajunya se dilakukannya. Ada kepuasan batin yang tidak bisa di gambarkan dengan
kata-kata. Detail dan rapi, dengan pilihan motif yang pas membuat setiap baju
yang dikenakannya terasa nyaman dan menambah keanggunan. Tidak pasaran dan
terjangkau untuk harga itu menjadi salah satu alasan Hanum menjahit semua
baju-bajunya. Banyak orang yang ingin menjahitkan bajunya, tetapi Hanum dengan
halus menolak. Belum ada kepercayaan dan keberanian diri untuk menerima jahitan
orang lain dan waktu juga yang tidak memungkinkan untuk menerima jahitan. Hanum
memadukan Tas dan sepatunya, yang lagi-lagi semua adalah buatan dirinya
sendiri. Ketrampilan yang dipelajarinya dari berbagai sumber online. Tidak
sedikit yang memuji penampilannya. Bak seorang model, bermodal yang tidak
terlalu banyak, sederhana tapi tak ada yang sama. Malam ini Hanum menjahit baju
kerja, gamis bernuansa hitam polos berbahan saten. Butuh waktu dua jam saja
untuk menyelesaikan satu baju. Lengkap dengan kerudung instan dan tas serta
sepatu. Hanum percaya satu hari nanti ilmunya ini akan bermanfaat, bermimpi
besar untuk mendirikan butik, bekerja dari rumah sambil mengasuh buah hatinya.
Bekerja yang tidak perlu meninggalkan rumah, tapi tetap maksimal. Bukannya
sekarang jaman serba online, semua aktifitas bisa dilakukan di dunia maya
termasuk jual beli. Impiannya terus di pupuk sambil mengasah keahliannya dalam
membuat pakaian dan pernak-perniknya. Satu lagi juga, Hanum senantiasa
memanjatkan doa agar imam keluarga dan calon pemimpin rumahtangga segera hadir
menghampirinya.
Suara pintu dibuka, reflek memandang
siapa yang datang. Rekan kerja rupanya,
“Ada yang bisa di bantu Bu? Tanya
Hanum
“Mau berbicara sebentar saja,
bisa meluangkan waktunya? Jawabnya
“Bisa Bu? Keliatannya serius
sekali bu
Bu Rudi berbicara dengan halus
dan perlahan, intinya menanyakan kesedian Hanum untuk bertaaruf dengan rekan
suaminya. Rekan suaminya, seorang yang terbilang mapan dan siap berumah tangga.
Bu Rudi juga memohon izin hanum untuk memberikan nomor teleponnya kepada rekan
suaminya. Lagi-lagi hanum membolehkan, entah mengapa seakan terbawa arus
cerita, tanpa ada keterpaksaan atau mungkin karena rasa sungkan Hanum pada Bu
Rudi.
Comments
Post a Comment